Maaf

19.29.00


imMha_HanIb


Mataku memerah saat ia mulai membelai rambutku. Air  mataku terjatuh ketika ia menuturkan kalimat hatinya. Aku tersedu mendengar harapan-harapannya.
“Ya Tuhan, kenapa aku begitu jauh dari semua harapnya!”
Meski tak terlihat. Walau wajah tak saling pandang. Dan walau benci aku padanya. Ia tetap kusayangi. Mungkin karenanya, aku terlahir ke bumi. Atau mungkin karena ia memang patut untuk dicintai. Entahlah!
*****
Perasaan itu. Rasa kecewa, benci, marah, masih tersisa. Tempatnya di hati. Susah terhapus. Biarkan saja begitu. Mungkin suatu hari akan terganti oleh cinta yang secuil ini. Biarlah!
“Syeira, anakku”
Suaranya
meluluhkan benteng pertahananku. Getarannya seakan mengharap waktu dapat kembali lagi. Kerutan di wajahnya seakan menggambarkan penyesalannya yang mendalam.  Tak sanggup aku menatap matanya. Ada ego yang masih liar dalam hatiku. Apakah karena waktu itu?
“Kenapa kau menumpahkan segalanya padaku? Dia juga anakmu. Kau yang harus bertanggung jawab.”
“Apa? Aku? Heh, aku sudah membiayai hidupmu juga anakmu itu. Kalau bukan karena aku, kalian sudah lantang-luntung di jalanan sana!”
“Itu sudah kewajibamu. Kau kan suamiku!”
“Kau pikir aku ini Bapakmu, hah! Aku tak mau lagi membiayai hidupmu dan juga anakmu itu mulai dari sekarang. Kalian hanya menguras waktuku saja. Dasar perempuan!”
“Oh…Baik. Aku mengerti maksudmu. Mulai sekarang kita pisah! Bawa anakmu itu!”
“Hehh, tunggu…tunggu. Aku tak mau anak itu! Kau yang  harus membawanya!”
“Hahh…tak sudi. Minggir!”
Wanita itu berlalu. Meninggalkan lelaki itu, teman hidupnya selama 6 tahun terakhir, yang sedang meneriakinya. Seragam putih merahku basah oleh air mata. Aku mematung di balik dinding kamar mereka.
*****
Sekali lagi, aku belum mampu melihat matanya. Tak tahu mengapa. Mungkin karena aku takut dia akan menyihirku dengan tatapan mautnya. Setelah itu, mungkin aku akan jatuh pingsan, lalu lupa ingatan, dan saat bangun aku akan melupakan masa laluku. Masa lalu yang kelam. Yang sulit kulewati.
“Halo, Liana. Jangan lari dari tanggung jawabmu!”
“…”
“Anak itu tanggung jawabmu, Liana. Kau yang melahirkannya. Kau juga yang harus merawatnya”
“…”
“Aku? Aku mulai ragu kalau dia anakku. Bisa saja dia anak orang lain. Selama ini, kan kau selalu keluar malam. Tak jelas ke mana!”
“…”
“Di mana kau sekarang? Akan kuantarkan anak itu ke tempatmu”
Tut…tut…tut
“Halo, Liana. Halo…Halo…Brengsek”
Terdengar suara benda berbenturan dengan lantai. Suaranya amat menakutkan. Membuat mataku tak dapat terlelap sepanjang malam. Air mata itu terjatuh lagi.
*****
Tangannnya meraba, mencari tanganku. Aku beku memandangnya. Sudah terlalu lama aku tak menyentuh tangan itu. Dan kini, tangan itu sudah tak semulus dulu lagi. Ada banyak kerutan yang terlukis di sana. Lukisan tentang kelamnya hidup yang ia sisakan untukku.
“Ibu…Ibu…Huuu…”
“Kau kenapa, Nak?” Orang yang kebetulan lewat di sampingku itu menghampiriku. Keranjang belanjaannya ia letakkan di depanku, “Ibumu ke mana?”
Aku menggeleng. Tak mengerti. Tersedu.
“Tadi Ibu nyuruh Syeira nunggu di sini.”
“Terus, Ibunya ke mana, Nak?”
Gak tau. Huuu…”
Wanita itu membelai rambutku. Menenangkanku. Ia tampak sangat khawatir melihat anak sekecil diriku yang berdiri sendiri di tengah keramaian orang yang berlalu-lalang di pasar, kala itu.
 Kututup wajahku yang sembab dengan kedua tanganku. Meski masih belum terlalu paham dengan liku-liku dunia, waktu itu aku telah menyadari bahwa seterusnya aku akan menjalani hidup dengan penuh duka. Sendiri.
Dan itu  benar adanya. Karena setelah itu aku sudah tak pernah lagi bertemu dengan Ibuku, juga ayahku. Aku sendiri.
Telah beratus usaha dilakukan oleh wanita yang baik hati itu untuk mencari orang tuaku. Memasang fotoku di Koran, TV, juga majallah. Hasilnya nihil. Ia, begitu juga aku, mulai menyadari bahwa mereka memang sengaja meninggalkanku di pasar waktu itu. Mereka tak menginginkan aku. Mereka membuangku, anak kandung merek sendiri! Perih rasanya. Hati yang masih kecil ini telah ditanami oleh luka yang amat menyakitkan. Sungguh sakit. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya dibuang.
*****
Dan kini, setelah 17 tahun aku hidup sendiri, masa lalu itu menyapaku. Ibuku muncul tak terduga. Mengulur tangan, harap kusambut. Sakit bukan main. Perih tak terhingga. Setelah dibuang bertahun-tahun, ia datang memintaku kembali. Kenapa baru sekarang ia muncul? Tak tahukah ia, aku menunggunya di pasar waktu itu?
“Syeira…”                                                       
Ia memanggilku lagi. Suaranya semakin bergetar. Tanganku ikut merasakan getaran itu. Kali ini kuberanikan diri menatapnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menangis. Kenapa? Apakah ia telah menyadari kesalahannya? Sayangya aku tak tersentuh sedikit pun. Masih tertanam rasa sakit itu.
“Syeira…maaf!”
Pelan sekali kata itu terucap darinya. Bulu kudukku berdiri bersusun. Ada air kehangatan meniupi api dalam hatiku. Mataku terasa pedis. Ada bendungan air yang ingin berlomba keluar.
“Ibu!”
Pertama sekali setelah 17 tahun, akhirnya aku dapat menngeluarkan kata itu. Ia tersenyum mendengarku memanggilnya. Matanya perlahan meredup. Senyumnya memudar. Ia kini kaku. Tak bergerak sedikitpun. Apa yang terjadi?
Aku mematung di samping pembaringannya. Menatapnya bingung. Menunggu lagi kata-katanya. Namun, tak kunjung tiba. Ia tetap saja kaku. Dadaku sesak. Air mataku pecah. Aku meraung kesakitan. Untuk kedua kalinya, aku harus kehilangan Ibuku. Untuk selamanya.

You Might Also Like

0 comments

Blogger news