SANDIWARA PEMILU

02.49.00


Hari ini aku sibuk sekali.  Tak ingat sudah berapa kali aku berlari kesana-kemari, menemui orang itu dan ini, mengurus itu dan itu, dan masih banyak lagi. Pokoknya, aku sibuk sekali. Seperti para menteri-menteri yang duduk di kursi mewah milik Negaraku. Negeri yang telah kudiami selama 14 tahun bersama teman-teman kecilku yang lain. Di sebuah tempat tinggal yang bagi kami “nyaman”, tapi kalau kalian mendengar orang-orang kikir itu berkata, mereka pasti mengatakan tempat kami ini “kumuh”. Ya…
terserah sajalah, yang terpenting bagi kami ada tempat untuk tidur jikalau malam datang menghampiri.
*****
Dua minggu yang lalu, saat aku dan kedua temanku sedang mendendangkan sebuah lagu di samping mobil Xenia, tak sengaja aku mendengar berita dari radio bahwa akan ada lagi pemilihan Gubernur baru untuk periode tahun ini. Aku yang asyik mendengarkan berita itu tersentak kaget saat  kepalaku dijotos dari depan. Aku terkesiap, kulihat bapak berdasi yang duduk di depan kemudi mobil itu memaki-maki diriku yang ternyata telah ditinggal oleh kedua temanku. Mereka mungkin kabur saat Bapak berkumis itu marah-marah karena mobilnya yang mewah didatangi oleh sekelompok pengamen kecil seperti kami. Seketika itu juga aku mundur dan berlari ke arah kedua temanku di tepi jalan raya yang melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku baru tahu, ternyata untuk sekadar numpang menguping berita dari mobil lewat saja harus dibayar dengan jotosan di dahi. Hah…Ibukotaku, apa kabar dirimu kalau begitu?
*****
Kulirik baliho-baliho yang berkibar  di sepanjang jalan trotoar itu. Tampak berderet wajah-wajah orang yang penuh wibawah sedang menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Tak satupun kukenali wajahnya. Namanya pun terasa asing kudengar. Merinding aku, pas kulihat nama-nama yang tertera di bawah masing-masing foto yang memamerkan gigi-gigi mereka. Titelnya bejibun, berurut dari H, Dr, Drs. Prof, Spd, M.Hum, dan entah apa lagi itu yang tak dapat dijangkau oleh otakku yang sederhana ini.
Teringat berita yang kudengar dari radio pagi tadi, mungkin merekalah calon-calon Gubernur kotaku untuk periode yang akan datang. Tapi, hey…siapa yang peduli pada mereka. Sudah ada banyak pemilihan seperti ini yang terlewatkan tanpa campur tangan kami, tapi toh, mereka terpilih juga. Sudah tumpul juga rasanya otakku mengingat setiap kata-kata dari mulut mereka pada waktu kampanye yang sering mereka adakan di dekat tempat tinggalku. Tapi setelah terpilih, kalimat-kalimat itupun terbang bagai angin yang terus mencari tempat singgah. Janji yang dulu mereka umbar, tak lagi mereka lirik.
*****
Kami gempar saat melihat rombongan mobil dan motor memasuki daerah tempat tinggal kami pagi itu, seminggu sebelum pemilihan Gubernur. Kami kaget bercampur heran dan juga cemas karena tak menyangka akan didatangi oleh segerombolan mobil di tempat kami yang begitu kumuh. Atau, kami cemas jika mereka akan meratakan rumah-rumah kecil kami dengan tanah, mengingat tempat tinggal kami ini memanng illegal. Di belakang lapangan sepak bola Nasional  di kotaku. Maka, kami pun berkumpul di depan rumah orang yang kami tuakan. Ada yang menangis, takut tempat tinggal kami akan dihancurkan.
Aku mencoba menghibur mereka saat melihat bendera di depan mobil dan motor yang mereka tumpangi. Di bendera tersebut tergambar sebuah lambang partai dan sebuah foto lelaki berwibawah yang mirip dengan bapak tua di atas mobil Xenia yang seminggu lalu menjitak kepalaku. Mungkin karena mengenali wajah di bendera tersebut, kedua temanku yang ikut denganku seminggu yang lalu menyikut lenganku. Aku menempelkan jari telunjukku di bibirku pertanda aku mengerti apa yang mereka maksud.
Beberapa menit kemudian, seorang lelaki bertubuh tinggi besar turun dari mobil Xenia hitam  yang ditumpanginya. Wajahnya sedikit tertutupi oleh topi berwarna hijau yang terpasang di atas kepalanya. Wajahnya berseri-seri ketika melihat kami menatap mereka dengan penuh kebingungan, apalagi aku yang sedari tadi memperhatikan rgambar di tengah bendera di samping partai yang digantung di atas sebuah tiang yang dipegang oleh seseorang yang juga menggunakan kaos bergambar lelaki yang sama dengan yang di bendera.
“Assalamu alaikum” Sapa lelaki yang dari mobil Xenia tadi dengan ramah.
“Waalaikum salam” jawab kami ragu-ragu.
Seakan tahu apa yang kami fikirkan, Bapak itu mulai memperkenalkan dirinya. Namanya Bambang Prasetyo, lengkapnya H. Drs. Bambang Prasetyo SH. M.Hum. Ia merupakan salah satu calon Gubernur periode ini.
Lamat-lamat aku mulai mengingat wajah orang ini. Ya…dialah Bapak-Bapak yang seminggu yang lalu menjitak kepalaku saat aku mencuri dengar berita dari radio mobilnya. Tapi, kenapa dia ke tempat ini? Apa yang dicarinya di tempat kumuh seperti tempat tinggal kami ini? Kalau saja waktu itu dia sampai menjitak kepalaku lantaran aku mencoba mendengar berita dari radio mobilnya, lalu apa yang dia inginkan dari kami, para pemulung dan pengamen yang kebanyakan orang merasa jijik oleh kami?
Memang, di saat pemilihan kepala daerah seperti ini, tak jarang orang-orang yang mengaku sebagai tim sukses dari masing-masing calon kepala daerah datang mengunjungi kami sambil membawa bahan pangan yang harganya cukup menjangkau uang di kantong kami. Bersama mereka,
ada juga beberapa orang yang membawa kamera-yang akhirnya kutahu sebagai cameramen dan pembawa acara di TV. Kalau ditanya tujuannya, semua orang pasti sudah tahu, apalagi kalau bukan untuk menarik perhatian orang-orang diluar sana dengan menjadikan kami, orang-orang miskin ini, sebagai  alat penarik simpatik orang-orang yang menyaksikkan program mereka.
*****
“Maaf kalau kedatangan kami membuat Anda sekalian merasa terganggu” Ucap sang calon dengan suara yang kedengarannya lembut namun tegas. Ia membuka topi yang berlambangkan namanya sendiri, dan terlihatlah wajahnya yang sangat bersahaja bagi kami. Aku sampai tak percaya kalau orang yang sedang berdiri di hadapan kami ini adalah seorang Bapak berdasi di dalam sebuah mobil Xenia yang  menjitak kepalaku seminggu yang lalu yang kelihatan sangar dibanding lelaki bertubuh tegap di hadapan kami sekarang ini.
 “Oh, eh..nda pa pa, Pak” Dengan badan yang sengaja dibungkukkan-pertanda penghormatan bagi yang derajatnya lebih tinggi dibanding kami, pak Gatot mulai bicara namun seadanya. Maklum, ia tak pernah mengenyam pendidikan semasa hidupnya sampai umurnya menginjak 50 tahun lebih sekarang ini.
Dengan senyum ramah, pak Bambang merangkul pak Gatot “Maafkan kami Pak. Kami tidak pernah tahu bahwa ada saudara kami yang sangat membutuhkan bantuan kami di tempat seperti ini. Untung saja, seminggu yang lalu saya melihat salah seorang anak yang sedang mengamen berlari ke arah sini dan tanpa sengaja saya melihat tempat tinggal kalian”
Aku kaget mendengar ucapannya. Apakah anak yang ia maksud adalah kami bertiga, aku, Galih dan Dadang? Aku berusaha menegapkan badan lebih tinggi agar ia melihatku. Dan usahaku berhasil. Dari raut wajahnya, kulihat ia sempat salah tingkah saat melihatku yang berdiri di samping pak Gatot. Mungkin ia telah mengingatku. Aku mencoba tersenyum agar ia tak merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan padaku minggu lalu. Dan tak kusangka ia meminta maaf padaku. Hey, kawan, apa kau dengar, seorang yang berderajat tinggi meminta maaf kepada seorang pengamen lusuh sepertiku? Aku sangat tersanjung.
“Siapa namamu, Nak?” tanyanya lembut
“Nama saya Anshari, Pak. Tapi orang-orang lebih sering memanggil saya Ari. Jadi Bapak cukup panggil saya Ari saja, Pak” jawabku berusaha setegas mungkin.
Beberapa menit berlalu, kami pun mulai akrab dengan pak Bambang yang sangat terbuka. Ia tak canggung memasuki rumah-rumah orang-orang di tempatku yang kotor dan bercengkerama di dalamnya. Orang-orang yang datang bersama pak Bambang mulai mengangkut barang-barang dari mobil open cup. Barang-barang itu dibagikan  kepada kami secara cuma-Cuma. Betapa bahagianya kamii mendapat bantuan dari orang yang rasa kepeduliannya tinggi seperti pak Bambang.
*****
Keesokan harinya, aku dijemput oleh seorang bawahan pak Bambang ke kantor Beliau. Aku tidak tahu apa kenapa aku yang diajaknya. Mungkin karena diantara orang-orang yang tinggal bersamaku di perkampungan kumuh itu, hanya aku yang berpakaian “sedikit bersih”. Dibanding dengan teman-temanku yang lain, memang hanya akulah yang sempat mengenyam bangku sekolah sampai ke tingkat SD. Itu pun ketika kedua orangtuaku masih hidup. Itulah mengapa aku sedikit mengerti tentang kebersihan dibanding orang-orang lain yang juga tinggal bersamaku di tempat itu.
Setibanya di kantor pak Bambang, aku takjub melihat anak-anak jalanan seusiaku juga sedang berkkumpul di sebuah ruangan dimana aku ditempatkan.
“Kalian tunggu di sini sebentar, ya, Nak! Sebentar lagi pak Bambang ke sini” Ujar Bapak tua yang menemaniku ke tempat itu.
Aku memandangi orang-orang di sekelilingku. Mereka pasti bukanlah anak-anak dari orangtua kaya berdasi seperti pak Bambang, kelihatan dari pakaian mereka yang lusuh, bahkan ada yang bajunya robek dan tapa alas kaki. Kami semua rasanya senasib. Aku mulai bertanya-tanya, apa gerangan maksud pak Bambang memboyong orang-orang miskin seperti kami ke tempat ini?
Pertanyaanku terjawab ketika pak Bambang mulai bergabung bersama kami. Ia mengutarakan rasa kasihannya melihat kami yang berpayungkan matahari mengamen di setiap ruas jalan sementara anak-anak yang lain tengah asyik menenteng bukunya menuju sekolah. Ia tidak tega melihat rumah-rumah kami yang kumuh, yang apapbila hujan turun maka kami akan kedinginan karena atap rumah kami yang kebocoran. Ia iba melihat kami yang hanya demi sesuap nasi rela berpanas-panas meminta-minta kepada orang-orang yang hanya sedikit sekali hati nuraninya tergerak.
 Aku sempat melihat rasa iba yang tergambar dari wajahnya yang bersih itu. Ketika menyampaikan beberapa kalimat kepada kami, aku menangkap buliran air mata yang jatuh menetes ke pipinya. Anak-anak yang lain pun mungkin menyaksikan hal yang sama denganku. Pak Bambang memperlakukan kami seperti anak yang kehilangan orang tuanya. Jiwa kebapakannya membuat kami nyaman selalu berada di dekatnya. Canda tawanya yang ringan membuat kami lupa bahwa kami hanyalah anak jalanan yang sering dipandang menjijikkan bagi sebagian orang, tapi bagi Beliau tidak.
“Anak-anakku sekalian, aku tidak ingin melihat ada lagi anak-anak yang tidak bersekolah di antara kalian. Kalian harus punya mimpi, sama seperti anak yang lainnya. Kalian harus mengejar cita-cita kalian karena kalianlah bibit bangsa”
“Oleh karena itu, Bapak ingin sekali membantu kalian agar bisa bersekolah dan mendapatkan tempat tinggal yang layak. Bapak akan menyediakan seragam sekolah bagi kalian. Untuk itu, Bapak mohon dukungan kalian agar apa yang Bapak impikan ini bisa terwujud. Kita harus bekerja sama” sambil mengepalkan tangannya, pak Bambang meyakinkan kami. Kulirik teman-temanku yang lain, mereka semua kelihatan sangat senang, wajah mereka merah merona karena terbakar semangatnya. Mungkin kali ini mereka telah terbang di fatamorgana, membayangkan diri mereka yang berseragam merah putih atau biru putih, menenteng sebuah buku dengan coretan nama masing-masing. Sama seperti yang aku dambakan sejak dua tahun yang lalu ketika aku hanya bisa mengintip anak-anak yang berseragam biru putih sambil bergandengan tangan melalui celah-celah papan rumahku kala itu. Kini, impian itu seperti datang menghampiri dan dia ada di depan mataku!
*****
“Hahh…itu hanya rayu busuk mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan” ujar Rinto usai kuceritakan semua pengalamanku tadi pagi pada semua orang di tempat tinggalku.
“Betul!! Telah banyak orang yang datang ke sini. Mereka memamerkan janji-janjinya. Tapi toh mereka tidak pernah lagi peduli sama kita.” Kali ini Mak Rina berkomentar sambil menggendong bayinya yang dari tadi menangis, mungkin karena lapar.
“Mereka malah merampas hak-hak orang lain!”
Aku terdiam mendengar komentar pedis mereka. Memang benar, setiap pemilihan seperti ini, pasti ada saja orang-orang yang datang ke tempat kami, membagi-bagikan sembako lalu meminta kami untuk ikut memilih mereka. Dan memang benar juga bahwa mereka yang sebelumnya pernah bertandang ke tempat kami yang kumuh ini guna memamerkan kepedulian mereka pada kami, tak pernah lagi melirik kami setelah mereka terpilih. Sakit memang rasanya jika selalu diperbudak seperti itu. Tapi apa mau dikata, aku memang membutuhkan janji-janji itu untuk keluar dari kemelaratan ini. Aku sangat ingin kebersekolah dan memupuk  kembali cita-citaku menjadi Menteri Ekonomi yang dulu pernah kupamerkan pada ibuku dalam seragam merah putihku.
Kulihat pak Gatot yang memandangku iba. Ia mengelus-elus pundakku yang gemetaran karena takut kehilangan kesempatan untuk bersekolah yang kesekian kalinya. Aku masih percaya akan kemurahan hati pak Bambang untuk menyekolahkan aku dan teman-temanku serta mengeluarkan kami dari lingkaran kemiskinan ini.
*****
 “Ayo, Ari, Bangun. Di luar ada pak Bambang”
Aku terperanjat dari tidurku ketika mendengar nama pak Bambang disebut-sebut oleh Dadang yang membangunkanku malam itu. Aku segera berlari keluar gubukku. Kulihat pak Bambang tengah duduk berdampingan dengan pak Gatot beserta orang-orang yang mengelilinginya. Ada pula Rinto dan orang-orang yang tidak mempercayai pak Bambang tadi sore. Mereka semua tersenyum padaku. Aku merasa akan ada kabar gembira yang akan kudapatkan malam itu. Dan tenrnyata benar. Pak Bambang datang ke tempat kami untuk memberikan seragam sekolah padaku dan anak-anak umur sekolah di tempat tinggal kami. Mungkin hanya ada 20 orang. Yang lainnya memang telah tumbuh tanpa pendidikan selama 16 tahun ke atas dan mereka menolak untuk kembali bersekolah karena malu dengan keadaan mereka yang telah dewasa. Lain denganku yang telah memiliki ijazah SD. Saking senangnya, ada air mata yang menetes di pipiku. Kupeluk pak Bambang erat-arat. Di dadanya kurasakan kehangatan. Belaiannya membuatku tak ingin pindah dari pelukannya. Ia berjanji akan menyekolahkan kami setelah pemilihan usai, tak peduli apakah ia yang akan terpilih ataupun tidak. Tapi aku dan orang-orang di tempat tinggalku telah menananmkan dalam hati bahwa kami akan mendukung penuh pak Bambang di pemilu, 5 hari lagi.
*****
Walaupun orang kaya, ia tak merasa jijik bersama kami. Ia bahkan mengunjungi kami setiap sore. Banyak hal yang kami lakukan bersama, mulai dari sekadar berbincang-bincang sampai bermain sepakbola bersama di tengah gerimis. Melihat hal langka seperti ini banyak orang yang datang mengunjungi tempat kami hanya untuk menonton calon Gubernur bermain bola bersama para pemulung seperti kami. Ada pula para wartawan yang berebutan menyorotkan lampu kameranya pada kami. Namun, pak Bambang seolah tak peduli akan hal itu dan terus menggiring dan merebut bola bersama kami di lapangan sepakbola, tepat di belakang gubuk-gubuk kecil kami.
Esoknya, aku melihat wajahku dan teman-temanku yang tengah asyik bermain bola bersama pak Bambang di semua media, baik media cetak maupun media elektronik. Banyak wartawan yang lebih suka menyoroti pak Bambang daripada kandidat-kandidat Gubernur yang lainnya. Banyak orang yang memprediksi bahwa pak Bambang-lah  yang akan menjadi Gubernur pada periode ini. Dimana-mana orang-orang membicarakan kedermawanan pak Bambang. Di setiap stasiun televisi menayangkan adegan ketika pak Bambang mengunjungi tempat-tempat orang miskin seperti tempat kami dan bercengkerama dengan penghuni-penghuni gubuk itu tanpa risih. Aku tersenyum melihat berita itu. Kutanamkan dalam hati untuk membantu pak Bambang sepenuh hati agar aku dan teman-teman pemulung yang kurang mampu di seluruh kotaku ini bisa kembali bersekolah, agar orang-orang terbebas dari kemiskinan.
*****
Karena itulah aku di sini, di Tempat Pemungutan Suara, khusus tempat tinggalku dan kampung sekitar tempat tinggalku. Meski baru berumur 14 tahun, tapi aku telah terpilih menjadi saksi pak Bambang Prasetyo di TPS ini. Pak Bambang sendiri yang memilihku 3 hari yang lalu ketika ia mengucapkan salam perpisahan pada kami karena ia tak bisa lagi mengunjungi kami atas dasar peraturan yang telah ditetapkan oleh hukum.
Aku ikut membantu pembuatan TPS yang dua tahun lalu tidak pernah kami pedulikan. Namun berbeda dengan sekarang karena kami telah kedatangan malaikat yang dengan senang hati membuka lebar tangannya untuk memapah kami keluar dari kesengsaraan akibat kemiskinan, terlebih kemiskinan akan kepemimpinan.
*****
Akhirnya hari yang kami tunggu-tunggu pun datang juga. Hari ini kami akan memilih Gubernur kota kami setelah dua tahun lalu kami bungkam dari pemilihan kepala daerah seperti ini. Kami semua, penghuni gubug-gubug kecil ini, sudah siap dari subuh tadi. Kami telah mempersiapkan pakaian terbaik kami untuk menyambut pemilihan ini. Kami sengaja bangun lebih awal dan berdandan semampu kami. Rasanya kami sudah tidak sabar lagi untuk meletakkan jempol kami di kartu para pemilih nanti.
Tiga jam berikutnya, TPS kami telah ramai oleh para penduduk yang akan memilih. Hari ini keramaiannya melebihi ramainya pasar-pasar malam di sekitar tempat tinggal kami. Tak seperti pemilihan biasanya, tempat pemungutan suara ini dihadiri oleh para wartawan. Mereka mungkin ingin meliput jalannya pemilihan ini.
Aku yang baru pertama kali menjadi saksi pemungutan suara ini duduk tegang di depan meja yang bertuluiskan saksi “H. Drs. Bambang Prasetyo S.H. M.Hum.”. Aku gemetaran tiap kali orang-orang memasuki bilik pengambilan suara. Aku khawatir mereka tidak memilih pak Bambang. Aku khawatir jika pak Bambang tidak terpilih, maka kami tidak akan bisa bersekolah lagi. Aku khawatir kota ini dipegang oleh orang yang salah lagi, yang tidak pernah peduli akan rakyatnya seperti para pemegang jabatan lainnya. Maka, setiap detik aku tidak pernah berhenti berdo’a kepada Allah agar mereka memilih pak Bambang. Tanganku keringatan karena ketegangan yang tidak pernah surut dari dalam diriku. Namun aku sangat terhibur ketika dari arah pintu TPS kulihat sesosok pria berperawakan kebapakan sedang mengarah ke bilik. Wajahnya menyiratkan ketenangan. Senyum selalu mengembang dari wajahnya yang tidak terlalu putih itu. Ia menyapa tiap orang yang hadir di TPS ini. Orang-orang pun berlomba-lomba ingin mendekatinya. Dialah Bapak Pemimpin kami, Pak Bambang. Ia berjalan menghampiriku dan mengusap kepalaku. Aku berdiri tegap dan tiba-tiba air mataku jatuh. Entah kenapa, aku merasa takut akan kepergian pak Bambang. Aku sangat mengagumi Beliau yang penuh kasih sayang kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Aku menyukai cara Beliau tersenyum, penuh ssemangat.
Pak Bambang menghapus airmataku dan memelukku erat. Ada ketenangan berada dalam dekapannya. Aku terus mendekapnya tanpa memperdulikan lampu-lampu kamera yang men-shoot kami.
*****
Di hari berikutnya, kami sangat deg-degan menunggu keputusan pemilihan kemarin. Kami berkumpul di rumah kecilku, satu-satunya rumah yang memiliki TV, itu pun TV hitam putih bekas yang telah berusia renta. Kami mengerubuni TV 14 inci ini. Tiap berita kami dengarkan dengan saksama. Tak ada yang berani mengedipkan mata saat para pembaca berita mulai menyampaikan berita-beritanya. Bahkan untuk menarik nafas pun serasa berat, takut mengganggu konsentrasi kami.
“….setelah melewati beberapa perhitungan, maka hasil pemilihan menetapkan bahwa Gubernur periode 2010-2015 mendatang jatuh kepada Bapak….Bambang Prasetyo..”
“Hore……hore…hore…” kami semua bersorak-sorak gembira mendengar hasil pemilihan ini. Kami turut bersuka cita menyambut kenaikan pak Bambang yang telah menjadi bapak Gubernur kami.
“Akhirnya kita bersekolah, Dang” pekikku keras-keras kepada Dadang, temanku.
“Ya…Akhirya…” sahut Dadang sembari menghapus air matanya yang berjatuhan
Malam ini kami semua sangat bahagia…
Pemimpin baru yang bijak akan segera berdiri di tengah jalan dan menyerukan perubahan-perubahan yang lebih baik…Aku tersenyum di dalam tidurku, tak sabar menanti hari esok saat pak Bambang menemani kami ke sekolah kami berikutnya.
*****
Pagi-pagi sekai aku sudah bangun. Sambil berdendang-dendang aku menuju tempat mandi umum kami dan mandi sebersih mungkin. Aku tidak memperdulikan dinginnya air yang menusuk tubuhku yang kurus kerempeng ini.  Setelah itu, aku mengumpulkan teman-teman yang lain. Setelah kami semua sudah siap dengan seragam baru kami, jam 8.30 kami berdiri di depan pintu rumahku, menunggu kedatangan pak Bambang. Kami menunggu pak Bambang sambil memamerkan baju seragam kami. Para orang tua teman-temanku juga tak mau kalah. Kami berkumpul di teras rumahku yang beralaskan tanah.
Terik matahari mulali menyapu rumah-rumah kami, namun pak Bambang tak kunjung datang ke tempat kami. Aku mulai gelisah, ada apa dengan pak Bambang? Apa ada yang menyibukkannya? Apakah dia baik-baik saja di jalan?
“Mungkin dia sibuk, Nak” pak Gatot menghibur kami “dia kan masih baru. Dia pasti sibuk mempersiapkan apa-apa yang diperlukannya. Belum lagi dia harus dilantik dulu sebelum bekerja. Ia toh!”
“Ia. Bisa jadi” jawabku murung. Mungkin ini hanya karena kau yang sudah tidak sabar ingin bersekolah dan tidak memperdulikan kesibukan pak Bambang.
“O iya. Kalau pak Bambang sibuk, aku yang akan ke kantornya. Siapa tahu aku bisa membantunya” ucapku dan segera berlari mengganti bajuku dan berlalu tanpa menunggu komentar mereka.
*****
Tanpa memperdulikanku, seorang satpam menyeretku keluar dari pagar kantor tersebut. Aku terseok-seok, membersihkan bajuku yang kotor karena terjatuh oleh dorongan satpam yang keras itu. Tidak tahukah ia, bahwa baju ini merupakan pemberian pak Bambang. Tak bisakah ia melihat foto pak Bambang di depannya. Heran…!!
Aku tidak mau menyerah. Aku yakin pak Bambang akan segera memarahi satpam tersebut kalau ia tahu satpam itu menyeret paksa aku keluar dari kantornya. Walaupun dari jauh, tapi aku bisa mengenali laki-laki bertubuh tinggi besar yang berada dalam ruangan itu. Dia sedang memegang gelas mewah sambil bercengkrama dengan beberapa orang lainnya. Dia pak Bambang. Aku meneriakinya. Kuayunkan tanganku berharap ia melihat ke arahku.
“Berhasil..” kulihat ia menoleh ke arahku, namun ia berpaling lagi dan sseakan tidak memperdulikanku. Ia tetap bercengkrama dengan orang-orang di sekitarnya tanpa memperdulikanku
“Pulanglah, Nak. Tak ada gunanya kamu berdiri di situ seharian. Orang sekecil kamu tidak akan pernah dihiraukan oleh mereka. Mereka sedang berada di atas pesta perayaan kemenangan mereka. Selama itu, mereka tidak akan memperdulikan siapapun di sekitarnya” ujar pak Satpam yang sedari tadi terus mengawasiku.
“Nah, sekarang pulanglah, Nak. Hari sudah semakin terik. Saya khawatir kamu akan mati kepanasan di situ.”
“Pak, biarkan saya ketemu sama pak Bambang, pak. Tolonglah!” aku memelas.
“hah….kamu ini. Memangnya ada urusan apa kamu sama pak Bambang”
“Dia berjanji akan menyekolahkan saya dan teman-teman saya, pak! Dan saya yakin, pak Bambang tidak akan lupa sama janjinya. Dia sendiri yang mengatakan itu pada saya, pak.”
“hahhh…Rupanya kamu adalah korbannya. Kasihan..!!”
“Maksud Bapak?”
“Nak, mereka tidak akan pernah mengingat kata-kata mereka lagi setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka akan melakukan segalanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, termasuk berjanji buta kepada orang-orang miskin seperti kita. Sudahlah, kamu masih kecil. Kamu tidak akan mengerti apa-apa. Sekarang pulanglah dan lupakan janji-janji yang sudah mereka berikan padamu.”
“Tidak mungkin, Pak. Pak Bambang sendiri sudah memberikan baju seragam kepada kami” elakku membela pak Bambang. Aku tidak terima ia menjelek-pjelekkan pak Bambang-ku.
“Sudah banyak orang yang seperti kamu, Nak. Banyak orang yang sudah diberi seragam sekolah oleh Beliau, bahkan janji akan diberikan pekerjaan, tapi nasib mereka sama seperti kamu. Kemarin mereka juga datang dan menagih janji Beliau. Tapi, Beliau tidak meresponnya. Jadi, pulanglah, Nak!”
Aku  tercengang mendengarkan pak Satpam itu. Tidak mungkin, fikirku. Aku membayangkan Pak Bambang sedang tersenyum ramah padaku seperti saat ia mendatangi tempat tinggal kami, dan sulit mempercayai satpam itu. Aku teringat hangatnya pelukan Beliau seperti saat ia memberiku baju seragam di tempat tinggalku, dan sulit mempercayai satpam itu. Aku mengingat segala kebaikan Beliau seperti saat menghibur orang-orang miskin di tempat tinggal kami, dan sulit rasanya mempercayai satpam itu.
Tapi apa daya, senja  telah nampak. Pak Bambang dan kawan-kawannya telah menyelesaikan pestanya. Mereka melaluiku begitu saja tanpa melirik sedikit pun ke arahku. Kulihat pak Bambang juga melakukan hal yang sama. Air mtaku mengalir…
*****
Aku pulang dengan hati yang lusuh. Aku tak kuasa menahan air mata yang berlomba-lomba keluar dari pelupuk mataku. Tapi, aku mencoba untuk tetap bersabar. Keyakinan akan pak Bambang masih ada dalam hatiku. Maka, aku dan teman-temanku tetap bersabar menunggu di lorong-lorong kecil tempat tinggal kami, menanti kedatangn pak Bambang dengan senyumnya yang bijak. Aku suka itu darinya.  Kami juga tak lupa mendengarkan kabar tentang dirinya tiap hari dari Koran dan TV lusuhku. Sehari, seminggu, sebulan, setahun sudah kami menunggu, tapi tak ada juga kunjungan dari pak Bambang. Setidaknya jika ia sibuk, ia kan bisa mengirim pengawalnya atau apalah untuk menemui kami, tapi tidak ada juga yang datang.
Tinggallah kami di pemukiman kumuh ini. Kami tampak begitu botoh telah dikelabui oleh sesosok yang menampilkan wajah malaikat namun berhatikan kancil, si pembohong.
Harapanku untuk bersekolah, sirnahlah sudah. Keinginan untuk menjadi Menteri Ekonomi hilanglah sudah. Aku terpuruk. Benar-benar teraniaya oleh sebuah janji kosong.

You Might Also Like

0 comments

Blogger news