Bulan Sabit Merah

23.53.00




Apa kau tahu? Aku masih selalu menunggumu. Masih di tempat, dimana dulu kau sering berbagi kisah denganku. Kisah tentang si kecil kancil yang pandai, sampai kisah spiderman  kau ceritakan berulang-ulang padaku. Sampai-sampai aku mengingat setiap kata yang akan kau ucapkan, jika kau akan memulai ceritamu. Tempat inilah saksinya. Juga saksi saat kau berjanji padaku. Janji yang selalu kunanti.
Tiap detik, hatiku tak pernah tenang. Aku takut kalau aku ketinggalan saat-saat itu. Saat dimana kau akan datang kembali menjemputku. Kembali menggandeng tanganku. Saat bulan yang tergantug dia atas sana berubah merah.
Akh
ternyata telah lama pula aku menunggu di teras  rumah ini. Rumah mungil yang masih sama seperti saat kau pergi. Aku sengaja tidak merubah sesenti  pun bentuknya, karena aku takut kau tidak akan mengenalinya kembali jika kau pulang nanti.
Dan aku masih mematung. Di bawah sinar sang raja malam. Dikelilingi lukisan malam. Aku tetap setia menunggumu. Layaknya kau adalah Chan di film  “Heart”, dan aku jadi Bak Soi, senantiasa menunggumu di halte bus. Meski malam berganti pagi, aku tetap akan seperti itu, hingga kau kembali padaku. Tak peduli kau akan kembali menyapa. Tak peduli aku menanti dalam kebingungan. Aku hanya mau kau. Hanya kau.
*****

Kupandangi langit malam ini. Aku tersenyum melihat bentuknya. Bulan sabit! Sama bentuknya saat kau menyusun langkah, menjauh dari tempatku. Waktu itu, aku hanya terdiam melihat kepergianmu. Karena aku yakin kau akan kembali. Mungkin kau hanya butuh waktu untuk melupakan tiap perhatian ibuku.
 Apa kau akan kembali?” Aku menatapmu. Mencari kepastian
Ya, aku pasti kembali.”
Itulah janjimu dulu. Aku yakin kau akan memenuhi janjimu. Aku percaya padamu, karena aku mencintaimu. Aku mencintaimu, seperti aku mencintai ibuku. Walau aku tak tahu, kau memiliki cinta untukku atau tidak. Aku tak peduli itu.
*****

Dulu kau sering mengajakku jalan-jalan bersama ibuku. Kau kelihatan senang dan bahagia saat bermain denganku. Kita melakukan banyak hal bersama. Berenang di pantai, berkunjung ke museum dan kebun binatang. Juga ke tempat permandian yang terkenal di kota ini.
Kau selalu menggenggam tanganku saat kita akan menyusuri keramaian orang. Takut aku akan hilang. Kau juga sering memberiku es krim saat aku ngambek  padamu. Sungguh, waktu itu kau memanjakanku.
*****

“Anita, mau ke mana, Nak?” Tanya Ibuku, saat kita bertiga di sebuah  tempat wisata.
Aku tak menjawab. Kulihat dirimu sedang asyik mencicipi makanan yang dibawa Ibu. Aku kesal karena kau tak peduli padaku.
“Anita!” Sekali lagi kudengar Ibu memanggilku. Ia mulai khawatir. Sepertinya.
Aku terus berlari. Ingin secepatnya tiba di rumah. Tiba-tiba bonekaku terjatuh. Aku bingung untuk mengambilnya. Aku terdiam di tempat. Menatap kendaraan yang barlalu-lalang. Ibu melihat ketakutanku. Kamu pun terlihat kuatir. Sedang aku hanya bisa menangis dalam kediamanku. Aku ingin pulang.
“Anita! Diam di situ. Biar Ibu yang mengambilnya.” Teriak Ibuku di seberang jalan.
Beberapa menit kemudian, kulihat Ibuku turun ke jalan mengambil boneka Barbie pemberianmu. Namun, tiba-tiba…
Bruukk…
Sebuah mobil tanpa kendali menabraknya. Ia terkulai lemah. Tak berdaya di badan jalan. Badannya berlumuran darah. Begitu juga boneka Barbieku.
****

Sejak saat itu kau berubah. Layakya aku adalah orang asing bagimu. Begitu pula sebaliknya, kau nampak asing bagiku. Tatapanmu tak lagi selembut biasanya. Jadi kasar dan tak peduli lagi padaku. Kau punya kebiasan baru yang sangat buruk. Pulang malam dan berteriak sesuka hatimu. Aku jadi takut menemuimu. Hanya bisa menelungkupkan badan di bawah ranjang, agar tak mendengarkan teriakan kasarmu.
Teringat kembali saat kau memukulku. Aku menangis. Tentu saja aku sedih. Karena kau berubah setelah ibuku tiada. Karena kau ternnyata lebih mencintai ibuku daripada aku. Namun aku tidak pernah berhenti sedetik pun untuk mencintaimu. Kupikir, mungkin suatu saat kau akan kembali lagi menyayangiku.
Dua minggu kau terus begitu. Pulang larut malam. Matamu merah dan jalanmu sempoyongan. Kau terlihat sangat hancur. Begitu berartikah kehadiran ibuku dalam kehidupanmu? Hingga kau begitu kehilangannya? Bahkan kau menghancurkan kehidupanmu, juga aku. Mengapa kau menganggapku tak ada? Tahukah kau, aku juga terluka dan kehilangan. Bukan hanya kehilangan ibu, tapi juga kehilanganmu.
*****

Suatu hari kau telah berubah. Kembali seperti dulu. Walau tidak seutuhnya, seperti saat ibuku masih ada. Mungkin kau telah menyadari kasih sayangku. Atau mungkin hanya kasihan saja. Aku tak peduli. Kau sudah jarang keluar malam dan memilih mengurung diri di kamarmu. Hanya sesekali kau keluar kamar. Pada saat itulah aku akan mengintipmu dari dalam kamarku agar aku dapat melihatmu sepuasnya.
Lalu, suatu malam aku memberanikan diri menemuimu. Kubuka pintu kamarmu pelan-pelan. Sangat pelan hingga tak bersuara. Takut mengganggu tidurmu seumpama kau telah terlelap. Lalu aku mengintip dari celah pintu. Aku melihatmu sedang duduk termangu. Menangisi foto yang ada dalam genggamanmu.
“Masuklah, Anita!” Pintamu mengagetkanku. Suaramu amat pelan dan bergetar. Aku takut kau akan memarahiku lagi  karena telah mengganggumu. Kau tersenyum padaku, mungkin kau menyadari ketakutanku. Kulangkahkan kakiku pelan ke arahmu. Kuperhatikan bentuk badanmu.
“Ya Allah, sudah berapa lama aku tak melihat dia? Badannya kurus. Wajahnya! Oh, sungguh tirus.” Lirihku dalam hati.
“Kemarilah!”
Kudekati dirimu. Duduk di sampingmu. Kulihat foto yang kau genggam. Ibuku! Kau ternyata terlalu mencintai ibuku. Meski telah sebulan lebih ia pergi, kau masih tetap menyimpan rasa cinta yang mendalam. Kau sepertinya sulit melepaskannya.
“Maafkan aku yang telah menyakitimu, Anita”
Airmataku mengalir. Kau ternyata menyadari luka yang telah lama kau goreskan.
“Kau pasti sangat terluka. Aku sungguh minta maaf”
Kau hanya berbicara sedikit tapi aku sangat menghargainya. Itu lebih baik daripada kau mendiamiku terus-menerus.
“Maaf”
Berkali-kali kau meminta maaf, menggenggam tanganku, mencium keningku, kemudian memelukku. Aku terisak dalam pelukanmu. Kupeluk kau erat-erat. Aku sangat merindukanmu. Entah sudah berapa lama aku tak merasakan pelukanmu.
“Aku tak akan menyalahkanmu jika kau membenciku. Aku memang pantas mendapatkan itu. Tapi aku berharap kau memaafkan aku. Aku akan belajar melupakan ibumu. Karena itu aku butuh menenangkan diriku. Aku butuh waktu untuk menyendiri, Anita. Maafkan aku sekali lagi” Ia berhenti sejenak lalu memandangi foto ibuku, sangat dalam, “aku ingin pergi meninggalkan kenanagan yanng ditinggalkan ibumu. Aku ingin jauh dari tempat ini. Kemana saja, yang penting jauh dari tempat ini”
Aku terkesiap mendengarkan kata-katamu. Kenapa itu terdengar sangat menyakitkan? Akalku tak bisa menangkap apa-apa dari raut wajahmu yang berekspresi datar. Kau seperti kehilangan rohmu. Aku sungguh tak mengerti maksudmu.
“Kenapa?” Akhirnya aku bisa mengeluarkan kata-kata juga.
“Aku ingin sendiri dulu, Anita”
“Tapi…”
“Aku akan kembali”
Kutatap matamu. Mata itu berkaca-kaca. Sebuah senyum menghiasi wajahmu yang penuh air mata.
“Aku akan kembali…Saat bulan sabit berwarna merah. Saat itulah aku akan datang menjemputmu. Aku akan kembali, Anita. Tunggu aku saat bulan sabit merah telah tampak menghiasi bumi.”
Dan begitulah. Kemudian kau pergi meninggalkanku di kesunyian malam. Dinaungi cahaya bulan sabit.
*****

Dan masih di tempat ini pulalah aku. Menunggumu tanpa henti. Menunggu dengan penuh harap kau akan kembali. Karena kau telah berjanji akan kembali.
Empat belas tahun kau pergi. Empat belas tahun pula aku dalam penantian. Menunggu bulan sabit berwarna merah.
Airmataku mengalir, deras membasahi pipiku. Aku teringat dirimu. Kenapa aku terlalu bodoh saat itu, saat kau berjanji akan menjemputku ketika bulan sabit berwarna merah! Bukankah bulan itu tak akan merubah warnanya menjadi merah? Apapun yang terjadi, tak akan pernah berubah warna!
Kenapa baru sekarang aku menyadari bahwa kau tak akan pernah kembali padaku lagi? Kau tak pernah berniat untuk menjemputku, bukan? Kau membohongiku dengan halus. Dan aku yang na’if dan polos ini mengangguk saja atas apa yang kau ucapkan. Karena aku belum mengerti apapun saat itu. Dan aku pun melepasmu. Melepasmu di bawah naungan bulan sabit yang berwarna kuning.
Dan di sini, di tempat  yang sama, aku selalu menantimu meski telah kusadari kau tak akan pernah kembali, seperti yang kau janjikan.
Air mataku mengalir deras di bawah sinar bulan sabit malam ini. Meski kutahu penantian ini akan sia-sia, namun aku masih terus ingin menunggumu. Penantian ini tak akan pernah berujung.
Kupegang erat-erat fotomu dalam sebuah bingkai yang kau tinggalkan untukku. Kupandangi wajahmu yang sedang tersenyum tampan bersama dengan ibuku. Air mata yang tak berujung ini mengalir, membanjiri bingkai fotomu.
“Aku sangat merindukanmu, Ayah. Sangat merindukanmu”
*****

You Might Also Like

0 comments

Blogger news